Pernah PM Singapura Lee Kuan Yew dalam sebuah pidato tanpa teks di sebuah
gedung teater bulan Agustus 1990, dengan isengnya menyebut perebutan Irian
Barat merupakan ambisi pribadi Soekarno, karena dia tak mampu memberi makan
rakyatnya, sehingga dialihkan ke sebuah gelora semangat yang bisa melupakan
rasa lapar perut rakyat. Ucapan itu beberapa waktu kemudian didamprat langsung
oleh Soeharto, seorang sahabat kentalnya.
Dalam pertemuan mereka di Batam setelah ucapan Lee Kuan Yew itu, Soeharto
secara halus dengan ke-Jawa-annya, mengatakan langsung kepada Lee, bahwa
perebutan Irian Barat bukan ambisi seseorang, tapi amanat proklamasi. Artinya,
wilayah Irian Barat adalah sebuah kemutlakan sejarah sebagai milik bangsa Indonesia. Dari
Sabang sampai Merauke.
Achmad
Yani...Perang..!!!!
Untuk merebut Irian Barat, Soekarno punya koleksi diplomat ulung yang bisa
dengan rasional mengatakan pada lawan bicara bahwa hitam itu putih, dan putih
itu hitam. Sebut saja Menteri Luar Negeri Soebandrio, Duta Besar Mukarto
Notowidigdo, Duta Besar RI di Washington Zairin Zain, Duta Besar RI Adam Malik
di Moskow, juru bicara Deplu Ganis Harsono atau diplomat muda Alex Alatas,
untuk menyebut beberapa contoh.
Simpanan Soekarno di kubu militer sebagai otak strategi bertempur merebut
Irian Barat, diisi oleh beberapa perwira muda cemerlang berotak strategis.
Hanya dalam hitungan minggu setelah mengumumkan Trikora, Soekarno langsung
mengangkat Achmad Yani sebagai Menteri Pangad (Kepala Staf Angkatan Darat), dan
menunjuk Soeharto sebagai panglima yang bertanggung penuh di lapangan secara
militer.
Diangkatnya Yani sebagai Pangad, membikin banyak pihak musuh (Belanda dan
kawan-kawan) terperanjat. “Wah, ini-mah perang!”, demikian penilaian mereka
terhadap Yani. Dia adalah tipe prajurit pejuang dan tempur, yang dalam
melaksanakan suatu strategi, sering berada diluar perhitungan pihak lawan.
Seperti yang dia buktikan waktu menumpas pemberontakan PRRI/Permesta di
Sumatera, tahun 1958.
|
Achmad Yani |
Pada waktu kota Pakanbaru (Riau) dikuasai pemberontak, Yani melakukan
manuver ‘airborne attack’, yang membuat usaha ‘silent operation’ dari Amerika
buyar. Waktu itu Amerika mendukung pemberontak dan sudah siap-siap dengan
Armada Ketujuh-nya di Selat Malaka (tak jauh dari kota Pakanbaru), untuk melakukan sebuah
intervensi pendadakan. Yani menghancurkan rencana itu beberapa hari sebelum
musuh melakukannya.
Soekarno boleh bangga punya stok perwira tangguh, diplomat ulung dan gelora
semangat rakyat yang sebagian besar mau mengikuti komandonya merebut Irian
Barat. Tapi itu belum cukup. Otot militer Indonesia masih kendor. Tidak
terlalu siap dan kuat untuk berkelahi dengan militer pihak musuh. Namun itu hal
yang gampang dan masalah kecil bagi Soekarno. Dia punya stok teman-teman untuk
mendapatkan senjata. Dari negara barat tentunya kurang mungkin, karena mereka
lebih menoleh ke Belanda, dalam bentuk simpati daripada mendukung Indonesia. Nah,
siapa lagi kalau bukan negara-negara komunis untuk minta batuan senjata?
Jadilah Uni Soviet sebagai arsenal Indonesia untuk berperang melawan
Belanda. Ini membuat penampilan militer agak unik di dunia waktu itu.
Kebanyakan perwira tinggi militer Indonesia, pernah mengenyam
pendidikan militer di Amerika Serikat. Ketika mereka harus bertempur, untuk
merebut Irian Barat, mereka memakai hampir semua senjatanya hasil buatan Uni
Soviet. Dua kombinasi aneh, mengingat antara Amerika Serikat dan Uni Soviet
sedang dalam perang dingin ketika itu.
Pada waktu berkunjung ke Uni Soviet bulan September 1989, Soeharto
menyampaikan rasa terima kasih Indonesia secara langsung kepada Mikhail
Gorbachev, atas bantuan Uni Soviet untuk Indonesia dalam merebut propinsi yang
sekarang bernama Papua itu. Ini sebuah bukti bahwa Uni Soviet mendukung penuh Indonesia dalam
merebut Irian Barat, baik moral, diplomatik dan tentunya senjata.
Sebagai orang yang bertanggung jawab di lapangan secara militer, Soeharto
merasa perlu menyampaikan ucapan itu secara langsung kepada pihak yang
membantu, meski sudah terlambat 26 tahun sejak Irian Barat telah menjadi bagian
tak terpisahkan dari Indonesia. Ya... karena Soeharto sendiri yang memakai
senjata itu.
Gugurnya seorang perwira tinggi militer Indonesia
dalam rangka merebut kembali Irian Barat, berhari-hari menghiasi halaman surat kabar pers di
belahan dunia. Yang pasti di Indonesia,
Australia dan
tentunya di Belanda yang lagi kesenengan dengan gemilang menewaskan Jos.
Beberapa kalangan di Belanda, menyebut gugurnya Jos Sudarso sebagai “jawaban
jitu atas Trikora-nya Sukarno”. Bahkan pers Belanda waktu itu berpesta pora
sambil menulis, “ini pelajaran pahit pertama untuk kepongahan Soekarno”. Hip
hip huraaaa…!
Berbeda sekali perasaan yang tercermin di pihak Indonesia. Kalangan militer sangat
terpukul dengan peristiwa di Laut Aru itu. Bahkan KSAL Laksamana RE Martadinata
menangisi kematian Jos Sudarso, sahabat dekatnya. Jangan ditanya bagaimana
reaksi Soekarno. Justru dialah orang yang paling murka dengan kejadian di Laut
Aru itu.
Dari kalangan dekat istana, seperti dari Sekretaris Negara Muhammad Ichsan,
terbetik berita bahwa Soekarno marah bagaikan ’celeng ketaton’. Maksudnya,
seperti babi hutan yang ngamuk karena dilukai. Panik! Hal ini sangat beralasan.
Pertama sebagai pukulan psikologis buat dia sendiri, yang memukul genderang
perang merebut Irian Barat, hanya sebulan sebelum peristiwa Laut Aru. Kedua,
beberapa hari sebelumnya, Soekarno lolos dari percobaan pembunuhan di Makassar,
kota yang
menjadi pusat komando dalam merebut Irian Barat. Ketiga, suasana politik dan
ekonomi dalam negeri yang sedang runyam, karena ada perselisihan diantara
politisi dan semrawutnya sistem ekonomi. Dan terakhir, dengan penderitaan
penyakit ginjal yang secara potensial bisa merusak tubuhnya, sehingga dia
selalu menolak mencari alasan bila ingin dioperasi ginjalnya. Takut mungkin. “Nanti
sajalah kalau Irian Barat sudah berhasil direbut”, alasan Soekarno kepada tim
dokternya.
Beberapa hari setelah gugurnya Jos Sudarso, Soekarno langsung mengganti
KSAU, dari Surjadarma ke Omar Dhani, karena alasan pihak AU belum bisa membantu
secara optimal.
Hanya beberapa hari usai peristiwa di Laut Aru, Panglima Kodam Hasanuddin M.
Jusuf (kelak menjadi Menteri Pertahanan dan Panglima TNI), mendadak
terburu-buru pergi bandara Mandai (sekarang Hasanuddin) di Makassar. Dia
bergegas menjemput dua petinggi yang datang dari Ambon,
terkait gugurnya Jos Sudarso.
Kedua petinggi itu datang diiringi awan mendung hujan rintik, seperti
suasana sendu yang merundung pihak militer Indonesia. Kedatangan mereka
layaknya seperti menjemput seseorang yang baru kembali dari sebuah ’secret
mission’ yang maha penting dan tak perlu diketahui oleh pihak manapun. Siapa
mereka?
Mereka adalah Johannes Leimena, Wakil Perdana Menteri II saat itu dan sering
menjadi pejabat presiden bila Soekarno pergi ke luar negeri. Satu lagi,
Jenderal Moersjid yang juga menjabat Deputy Pertama Panglima AD. Moersjid
adalah perwira yang dikenal tak doyan ngomong, apalagi sama wartawan.
Begitu keluar dari pesawat, tak ada senyum yang menghias bibir Leimena.
Apalagi dari Moersjid, yang terlihat jelas keletihan di wajahnya. Bajunya pun
tampak belum diganti berhari-hari. Namun ada yang agak mengejutkan dari jas
hutan yang ditentengnya. Terlihat ada percikan darah kering yang banyak
menempel. Ada
sesuatu yang disembunyikan dari kedatangan mereka.
Gerakan tutup mulut mereka hampir saja berhasil, bila saja tidak dipancing
pertanyaan oleh kalangan wartawan yang ikut menjemput dua orang penting itu.
Leimena yang langsung duduk di sudut ruangan VIP langsung berbicara serius
setengah berbisik dengan M. Jusuf. Sampai-sampai dia tak tahu bila pelayan
telah menyuguhkan minuman hangat kepadanya. Bila ditanya tentang Jos Sudarso, Leimena
mengelak dan melemperkan ke Moersjid. “Tanya saja pada Jenderal Moersjid!”, elaknya.
“Apa yang kami bisa tulis jenderal?”, pancing wartawan. Dengan khas lesung
pipitnya, Moersjid akhirnya mau buka katup mulutnya dan meluncurkan beberapa
kata keluar dari bibirnya. “Ceritakan pada semua orang dari Maluku Tenggara (Laut Aru) tentang “mooie
rozen en maneschijn”. Ini sebuah ungkapan bahasa Belanda yang artinya kira-kira
”melati indah dan terang purnama”.
“Maksudnya apa jenderal? Hanya itu?”, pancing wartawan sambil mendesak
Moersjid agar berterus terang dengan kejadian di Laut Aru. Moersjid memang
dikenal sebagai seorang perwira yang tak suka ngomong. Doyannya ya bertempur.
Kalau tugas militernya selesai dengan tuntas dan menang, dia merasa seperti orgasme.
Puas!
”Saya belum melapor ke pusat”, balasnya dengan tatapan tajam, lalu
diam seribu bahasa.
Ternyata setelah kedatangan dua pejabat penting itu, ada bocoran bahwa
Jenderal Moersjid adalah perwira yang berada dalam satu dari MTB (motor torpedo
boats) dan menyaksikan sendiri pertempuran di Laut Aru hingga menyebabkan
gugurnya Jos Sudarso. Sejak itu dapat ditafsirkan apa artinya ”melati indah dan
terang purnama”. Moersjid adalah perwira yang senang melihat setiap pertempuran
sebagai sesuatu yang indah, seperti pertempuran di Laut Aru yang baru saja dia
alami bersama rekannya yang gugur, Jos Sudarso.
Meskipun pihak militer dirundung sedih dengan gugurnya Jos Sudarso, Achmad
Yani adalah perwira yang tak surut sedikitpun semangatnya. Ketika ditanya wartawan
di Makassar, dia lantang menjawab setiap
pertanyaan.
“Peristiwa itu tak akan menghancurkan tekad kita. Tapi sebaliknya,
memperbesar dan mempersatukan tekad kita, bagaimana cara menghadapi kaum
imperialis”, ujar Yani berapi-api. Kata ‘imperialis’ sangat lazim digunakan
saat itu untuk merujuk ke beberapa negara barat yang ingin mengulangi kajayaan
kolonial mereka masa lampau. Bahkan Yani menampik bahwa bahwa perebutan Irian
Barat merupakan ambisi pribidi Soekarno.
“Itu tidak benar!”, kata Yani dengan mata sambil melototi satu persatu
wartawan yang menyimaknya. “Bagi saya pribadi, masalah Irian Barat bukan
masalah rasio yang bekerja. Tapi lubuk hati. Perasaan saya”, ujarnya sambil
menunjuk ke dadanya.
Yani dikenal sebagai perwira kesayangan Soekarno, yang berpikiran strategis
dengan ketepatan kalkulatif di lapangan, berani berkoar bahwa dalam pertikaian
antara Indonesia dan Belanda, kemenenangan ada di pihaknya, meski jelas
terbukti Jos Sudarso sudah tewas dihajar Belanda.
“Kemenangan dalam satu atau dua pertempuran atau mungkin lebih, bukanlah
kemenangan dalam sesuatu peperangan. Kemenangan suatu peperangan adalah
kemenangan terakhir”,
ujarnya kepada segelintir wartawan yang khusus diundang untuk mendapat briefing
langsung darinya di Makassar.
“Dan kamilah, bangsa Indonesia
yang akan menentukan kemenangan terakhir. Bukan Belanda!”, katanya berapi-api
penuh dengan janji, yang kelak memang terbukti tepat.
“Ini dapat saya pastikan menurut penilaian perimbangan kekuatan, strategi
politik dengan segala sangkut pautnya antara Belanda dan kita”, tambah Yani.
Dan akhirnya pada bulan Mei 1962, Radio Biak dan Radio Australia yang kemudian dikutip seluruh pers dan
radio di seluruh dunia, mengumumkan bahwa Indonesia telah menerjunkan pasukan
parasut di pesisir barat Irian Barat.
Padahal setiap ahli strategi barat telah mencoba meyakinkan Belanda
sebelumnya, bahwa wilayah Irian Barat tak mungkin dapat diterjunkan pasukan
payung, melihat keadaan medannya yang ganas, serta faktor-faktor lain yang bisa
menjadi syarat mutlak dalam suatu pertempuran hutan.
Akhirnya pada awal tahun 1963, wilayah Irian Barat berhasil direbut kembali
oleh Indonesia.
Soekarno boleh bangga dengan mengganti semua nama-nama Belanda di bumi Irian
dengan nama berbau Indonesia.
Dia boleh sombong membangun Tugu Pembebasan Irian Barat di pusat Jakarta, sebagai simbol kemenangan, persis beberapa meter
dari bekas monumen kolonial kemengangan Waterloo.
Soeharto sebagai pangliman Mandala yang bertanggung jawab di lapangan, mendapat
reputasi cemerlang. Yani memperoleh legitimasi sebagai perwira TNI yang
strategis dan ulung, meski banyak korban di pihak militer Indonesia.
Nasution juga bisa menepuk dada. Dan Moersjid bisa mengatakan “melati indah dan
terang purnama” di setiap pertempuran melawan Belanda.
Di jalur diplomatik pun Indonesia
membuktikan kepiawaian berargumentasi secara rasional dengan lawan bicaranya,
dan juga membujuk teman untuk membantu.
Indonesia
bisa menang dan bangga dengan merebut Irian Barat. Namun sampai kini Indonesia belum
sepenuhnya menang merebut hati rakyat di Irian Barat, yang sekarang bernama
Papua dan menjadi tiga propinsi. Apalagi menang dalam memberi kesejahteraan bari rakyat Papua. Indonesia kalah.
Sumber :
The Global Review