Perjalanan
dengan KRI Surabaya 591 meliput Armada Jaya
XXXI/2012 Oktober lalu sangat mengesankan. Selain bisa menyaksikan dari dekat
penembakan rudal
Yakhont, juga bisa menyimak pengoperasian helikopter di kapal perang TNI AL.
Oleh karena luas geladak terbatas, pendaratan dan lepas-landas harus dilakukan
ekstra hati-hati dan prosedural. Berikut pengamatan langsung di Perairan Sulawesi .
KRI Surabaya
591 adalah satu dari lima
kapal Landing
Platform Dock (LPD) yang dimiliki TNI Angkatan Laut. Meski disebut
kapal perang, secara umum profil kapal ini tak sama dengan kapal perang dari
kelas Van Speijk
atau Sigma
yang memiliki meriam, rudal dan persenjataan tempur lain. LPD hanya memiliki
meriam 20 mm untuk sista antipesawat udara, namun (kelebihannya) bisa menjadi
pangkalan militer terapung untuk dukungan operasi amfibi.
Helikopter TNI sedang Melakukan Pendaratan Di Geladak Kapal Jenis LPD |
LPD, sejatinya pula, telah dirancang sebagai kuda beban yang amat moveable. Ia
bisa berlayar kemana saja non-stop 23 hari dengan kecepatan 14 knot, tanpa isi bahan
bakar. Selain bisa difungsikan menjadi kapal markas komando, ia juga bisa
membawa ratusan pasukan pendarat, sejumlah tank, beberapa kendaraan tempur,
kapal pendarat, serta helikopter-helikopter untuk mendukung gugus tugas armada
laut. Geladak atasnya bisa didarati tiga helikopter. Dengan demikian, kapal
perang yang sepintas mirip kapal induk kelas Tarawa
ukuran mini ini juga bisa dikerahkan untuk dukungan misi kemanusiaan ke
daerah-daerah yang terkena bencana.
Khusus untuk lepas-landas dan pendaratan helikopter, kapal ini memiliki
ruang kontrol penerbangan yang unik, dalam arti tidak besar namun proporsional.
Ruang kontrol bernama Heli Control Room ini terletak di belakang anjungan,
menghadap langsung geladak atau dek di buritan kapal, tempat
helikopter-helikopter itu mendarat dan lepas-landas. Sementara di depan geladak
ada hanggar untuk satu heli yang juga bisa dikontrol lewat HCR.
Dari balik kaca ruang kontrol seluas 2 x 3 meter yang menempel di belakang
anjungan ini, seorang perwira operasi yang didampingi seorang kelasi bisa
melihat ke semua sisi geladak. Mereka bisa memantau kerja petugas ground-handling.
Dari sini, mereka juga bisa memantau kedatangan helikopter dan memberi dukungan
sinyal dan informasi slope dan arah
untuk penerbang. Perwira operasi bisa berasal dari skadron udara tempat asal
helikopter atau bisa pula perwira dari kapal yang bersangkutan.
Beda Teknik Approaching
Mengoperasikan helikopter di kapal perang atau kapal laut menuntut
keterampilan khusus karena lebih sulit ketimbang mendaratkan atau lepas landas
dari pangkalan di daratan. Keterampilan khusus ini diperlukan karena
helikopter-helikopter ini harus didaratkan atau lepas-landas di atau dari
medium yang bergerak, di atas geladak yang luasnya terbatas. Penerbang harus
menguasai teknik approaching
yang amat berbeda dengan teknik pengoperasian di darat karena faktor kecepatan
angin di atas laut yang beragam atau gampang berubah.
“Keterampilan seperti ini wajib dikuasai setiap penerbang dan harus terus-menerus di-update. Ini penting karena, bahkan, sampai sekarang pun masih terjadi kecelakaan yang tidak perlu terjadi akibat penerbang salah mengantisipasi titik pendaratan yang benar, kecepatan dan arah angin atau kecepatan kapal,” tutur Letkol Laut (P) Muhammad Tohir, Komandan Skwadron 400 , Pusat Penerbangan TNI AL, dalam wawancara khusus di atas KRI Surabaya 591.
Permasalahan seperti itu boleh jadi terdengar absurd namun faktual. Hal ini
bisa dicontohkan dengan kasus terjungkalnya helikopter milik AL Kanada beberapa
waktu lalu di ujung geladak gara-gara salah mengantisipasi titik pendaratan
yang benar. Usut punya usut, musibah ini disebabkan oleh minimnya marking di
atas geladak.
Kasus tersebut terbilang aneh tapi nyata oleh karena menurut aturan
internasional, marking dinyatakan harus ada, lengkap, jelas
dan harus disertifikasi. Begitu juga dengan kelengkapan lampu-lampu (lighting)
pemandu pendaratan dan lepas-landas. Permasalahan ini termasuk salah satu yang
dibahas dalam pertemuan tahunan HOSTAC (Helicopter Operation from Ships other Than Aircraft
Carriers) yang rajin dihadiri Letkol Tohir.
HOSTAC adalah program internasional beranggotan 34 negara untuk standarisasi
penerbangan helikopter militer di atas kapal laut selain kapal induk. “Di
pertemuan rutin ini, setiap permasalahan akan dicarikan pemecahan dan dibuatkan
prosedur untuk mengatasinya. Ini demi mencegah kesalahan serupa di masa
datang,” ujar Letkol Tohir.
Untuk itu baik penerbang maupun perwira operasi yang bertugas di HCR memang
bisa saja menolak pendaratan atau lepas landas jika kondisi atau keadaan memang
tidak memungkinkan. Tak peduli bahwa yang helikopter tersebut sedang mengangkut
helikopter atau logistik yang amat penting.
Sekilas LPD
Kemajuan teknologi dan meningkatnya kebutuhan akan peralatan tempur yang
mumpuni telah mendorong berbagai pabrikan untuk menciptakan alat utama sistem
senjata yang tepat sesuai kebutuhan customer, tak terkecuali untuk
kapal-kapal pendarat pasukan. Landing Platform Dock adalah salah satu alat utama yang
terus-menerus diperbaharui rancangannya oleh sebab kebutuhan tersebut. Seperti
dituntut petinggi Angkatan Laut AS, kini sebuah LPD baru bisa dikatakan layak
jika mampu mengangkut sekaligus enam sampai tujuh Landing Craft Air Cushion dan
bisa mendukung operasi Expenditionary Strike Group.
Kebutuhan masa kini dan masa datang juga menuntut LPD bisa didarati
helikopter sehingga harus memiliki geladak atau deck yang layak dan
bersertifikasi. Dengan demikian, selain sangat layak difungsikan kapal transpor
untuk para marinir, LPD juga bisa dimanfaatkan sebagai kapal markas dan
pangkalan operasional di tengah laut. Dan untuk alasan tertentu, kapal ini juga
harus bisa dikerahkan untuk misi pertolongan ke daerah bencana.
Oleh karena spektrum fungsi yang luas, berbagai negara pun antusias membeli
LPD. Bahkan sampai ada yang sampai memesan menurut kebutuhan yang spesifik. TNI
AL sendiri sejauh ini sudah memiliki lima
unit yang sama-sama berasal dari Kelas Makassar. KRI Makassar 590 adalah LPD kedua buatan Daesun
Shipbuilding & Engineering Co., Korea Selatan, yang dirancang berdasarkan
LPD pertama, KRI Tanjung
Dalpele. KRI Tanjung Dalpele selanjutnya berubah nama dan fungsi jadi
KRI Dr Suharso,
satu-satunya kapal rumah sakit yang dimiliki TNI. LPD ketiga adalah KRI Surabaya.
Sementara LPD keempat dan kelima, yakni KRI Banjarmasin 592 dan KRI Banda Aceh
593, tidak lagi dibangun di Korea Selatan tapi di fasilitas PT PAL, Surabaya.
Meski berasal dari satu kelas, dalam beberapa sisi, KRI Surabaya 591 dan KRI
Banjarmasin 592 toh memiliki perbedaan. Misalnya, dalam hal luas geladak untuk
pendaratan helikopter. Geladak KRI Surabaya lebih kecil dan hanya bisa didarati
dua helikopter, sementara geladak KRI Banjarmasin lebih luas dan bisa didarati
tiga helikopter. Lebih jauh tentang fisik teknis KRI Surabaya, simak boks
spesifikasinya.
Sumber : Angkasa
No comments:
Post a Comment