Ilustrasi. Foto : Liputan6 |
Ia mengatakan, keterbukaan sikap TNI dalam menyusun RUU itu dibuktikan
dengan penghilangan pasal tentang penyadapan. Ia juga mengatakan, pasal tentang
sanksi terhadap perancang undang-undang yang dinilai inkonsepsional yang
awalnya tercantum pun sudah dihapus. "Kalau salah mengkonsep undang-undang, tadinya di RUU ini juga
dimasukkan, bisa dipidana, tapi akhirnya dihapus karena ditentang DPR. Kemhan
tidak alergi akan masukan," ucap Hartind.
Menurutnya, RUU Kamnas ini diperlukan lantaran untuk menjaga keamanan
nasional. Selain itu, untuk merespon adanya ancaman, yang memerlukan tindakan
cepat melalui gladi posko yang melibatkan Forkominda (Forum Komunikasi
Intelijen Daerah). Gladi posko itu dipimpin oleh pimpinan daerah. "Gladi posko ini juga dipimpin oleh sipil. Jadi tidak benar kalau kami
menghilangkan hak sipil, justru kami menghormati itu. Jangan berpikiran, ini
teori konspirasi. Tidak ada. Ini untuk kepentingan nasional," katanya.
Kementerian Pertahanan telah menyerahkan draft Rancangan Undang-undang
Keamanan Nasional (Kamnas) yang telah direvisi ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
pada bulan Oktober lalu. Namun, hasil revisi draft RUU itu nyatanya masih menyisakan 44 pasal yang
berbenturan dengan undang-undang yang sudah ada. Selain itu, beberapa pasal di
antaranya masih dianggap melanggar hak sipil. "RUU Kamnas dibuat dengan tergesa-gesa. Tidak ada perubahan signifikan
dalam RUU ini dari 60 menjadi 55 pasal. Dari 55 pasal itu, koalisi menolak 44
pasal," ujar aktivis Imparsial, Batara Ibnu Reza.
Batara mengatakan, keberadaan RUU Kamnas ini penting namun substansinya bisa
menimbulkan banyak persoalan. Pasal-pasal yang ada di dalam RUU Kamnas dianggap
berbenturan dengan undang-undang yang ada, seperti Undang-undang Pertahanan
Negara. Direktur Badan Pekerja Institut Proklamasi (BPIP), Arif Rahman juga
menganggap beberapa pasal yang ada di draft RUU Kamnas bertujuan mengembalikan
kewenangan militer. "RUU Kamnas ini bersifat multitafsir dan berpotensi mengancam hak asasi
manusia, penegakan hukum, kebebasan sipil, hak dan kebebasan Parlemen dalam
membuat UU, serta kebebasan berekspresi," kata Arif.
BPIP, kata Arif, mencatat Kementerian Pertahanan selaku wakil pemerintah
yang menyusun dan merumuskan konsep RUU tersebut dinilai gagal melakukan
transformasi nilai positif dan urgensi konsep tersebut kepada masyarakat, awak
media, dan politisi Senayan. "Sehingga yang muncul adalah tanda tanya dan kecurigaan atas pengajuan
RUU Kamnas di saat suasana batin masyarakat sudah terbiasa dengan model
demokrasi langsung yang transparan," ujar dia.
Sumber : Suara Karya
No comments:
Post a Comment