Cara Perang Neocortex (Neocortical
Warfare) adalah cara perang tanpa penggunaan kekerasan. Jadi
menyimpang dari definisi perang yang diberikan Von Clausewitz, yaitu Perang
adalah tindakan kekerasan untuk memaksa musuh tunduk kepada kehendak kita.
Lebih sesuai dengan pernyataan Sun Tzu , yaitu panglima perang yang unggul adalah
ia yang dapat menundukkan musuhnya tanpa menggunakan pertempuran.
Berkembangnya pemikiran ini dipicu oleh kemajuan Iptek, khususnya dalam
biologi dan psikologi. Orang berpikir bahwa inti Perang adalah menundukkan
kehendak musuh sehingga mau mengikuti kehendak penyerang, tidak melawan atau
mempersulit keinginannya. Untuk menundukkan kehendak musuh yang penting adalah
menundukkan kehendak pemimpin musuh tanpa harus berperang secara formal. Kalau
pemimpin mau tunduk, ia tidak akan membawa pengikutnya untuk melawan penyerang.
Bahkan ia akan mengikuti kehendak penyerang. Dan menundukkan kehendak pemimpin
musuh tidak harus dengan tindakan kekerasan. Malahan penggunaan tindakan
kekerasan mengandung risiko macam-macam, mungkin serangan dikalahkan atau mengundang
pihak lain membantu yang diganggu. Selain itu tindakan kekerasan pasti perlu
biaya besar yang amat berbeda kalau tanpa tindakan kekerasan.
Ilustrasi |
Iptek menunjukkan bahwa kehendak orang bersumber pada otaknya, khususnya
bagian otak yang namanya neocortex. Kalau otak itu dapat dipengaruhi sehingga
pikiran orang itu bergerak menguntungkan , maka kehendak orang itu dapat
dimanupulasi sesuai kehendak penyerang. Contoh paling sederhana adalah
penyuapan yang membuat orang yang terima suap lebih dekat kepada pemberi suap.
Dan suapan tidak hanya uang, bisa juga hal lain yang menyenangkan penerima suap
sehingga berubah pikirannya. Iptek kemudian menemukan bahwa tidak hanya suap
saja jalan untuk mengubah cara berpikir orang. Berbagai teknik dapat
dikembangkan yang dapat mencapai tujuan sama.
Cara Perang Neocortex mulai digunakan pemimpin Jerman Adolf Hitler pada
tahun 1930-an ketika ia berambisi menguasai Eropa. Hitler pada tahun 1938
berhasil menundukkan Austria tanpa penggunaan kekerasan. Hitler pula yang
mengembangkan tindakan penetrasi ke negara-negara Eropa Barat tanpa kekerasan
dengan apa yang oleh pihak lawannya di Barat disebut kolonne kelima dan
kemudian berkembang menjadi istilah subversi yang sekarang lazim digunakan.
Cara Perang Neocortex terutama tertuju kepada pimpinan pihak yang diserang.
Sedangkan Kolonne Kelima dengan jalan propaganda mempengaruhi masyarakat lawan.
Hanya Hitler kemudian masih menggunakan tindakan kekerasan untuk menguasai
Eropa Barat, meskipun cara perang neocortex dan kolonne kelimanya sudah
berhasil mempengaruhi dan melemahkan masyarakat Eropa Barat. Keberhasilan cara
berperang baru itu dibuktikan dengan runtuhnya negara-negara Eropa Barat satu
persatu dalam waktu singkat, bahkan Perancis yang dalam Perang Dunia I
mengalahkan Jerman dapat dikalahkan dalam kampanye yang hanya berlangsung tiga
minggu. Hitler baru gagal ketika hendak merebut Inggeris.
Cara Perang Neocortex dan subversi ini kemudian juga diambil Uni Soviet dan
diterapkan dalam ambisi Josef Stalin dan Partai Komunis menguasai dunia setelah
memenangkan Perang Dunia II. Amerika Serikat relatif lambat dalam penggunaan
cara baru itu, karena cenderung terlalu menitikberatkan pada keunggulan
teknologi militernya serta kekuatan pembiayaan. Baru setelah menyadari bahwa
perang modern perlu pembiayaan amat besar, apalagi mengalami kegagalan seperti
di Vietnam yang membuktikan bahwa keunggulan teknologi bukan segalanya, para
pakar AS mulai menyadari pentingnya cara berperang tanpa kekerasan, khususnya
perang neocortex.
Tidak mustahil pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev salah satu korban
perang neocortex AS. Setelah memenangkan Perang Dingin AS melancarkan offensif
tanpa kekerasan besar-besaran untuk menguasai dunia. Kekurangberhasilan operasi
militernya di Irak dan Afghanistan, padahal sudah dikeluarkan biaya amat besar
dan dikorbankan banyak pemudanya, membuat orang AS makin sadar bahwa teknologi
dan kekuatan ekonomi bukan segalanya. Apalagi setelah ditimpa krisis ekonomi
yang hingga kini belum teratasi.
Sebab itu dapat diperkirakan bahwa Cara Perang Neocortex akan makin
digunakan AS unntuk mencapai tujuan-tujuannya dan memelihara dominasi dunia.
Karena Indonesia termasuk negara yang menonjol dalam kepentingan AS maka kita
harus siap dan waspada untuk tidak menjadi korban dari usaha AS itu. Kita tidak
perang dengan AS tapi tanpa perang AS akan memperjuangkan kepentingannya yang
banyak di Indonesia. Kiranya keberhasilan mengubah UUD 1945 dengan 4 kali
amandemen sehingga batang tubuh konstitusi itu menjadi berbeda dengan Dasar
Negara, dengan bantuan orang Indonesia sendiri, merupakan salah satu usaha
tanpa kekerasan AS yang merugikan NKRI dan bangsa Indonesia.
Akan tetapi kita juga waspada terhadap China yang sedang bersaing kuat
dengan AS, karena cukup banyak kepentingannya di Indonesia. Dan pasti China
lebih mahir dan cekatan dari pada AS dalam melakukan Cara Perang Neocortex.
Sumber : The Global
No comments:
Post a Comment