Jakarta - Mantan
Pangkostrad Letjen (Purn) Djadja Suparman membeberkan adanya rencana
penggulingan kekuasaan sebanyak dua kali di awal era reformasi dengan
memanfaatkan gerakan mahasiswa. "Selama proses transisi itu ada sekolompok orang yang menggerakkan massa untuk menggulingkan
kekuasaan Presiden Soeharto dan Presiden Habibie secara inkonstitusional.
Mereka memanfaatkan gerakan mahasiswa untuk memuluskan aksinya," kata
Djadja dalam acara peluncuran dan diskusi buku biografinya yang diberi judul
"Jejak Kudeta" di Jakarta, Jumat (18/1)
![]() |
Prajurit TNI Melakukan Defille Pasukan. Foto : Republika/Edwin Dwi P |
Dalam acara yang dimoderatori mantan presenter dan aktivis Irma Hutabarat itu
hadir pula pengamat politik J Kristiadi dan sejumlah tokoh dan jenderal senior
seperti mantan Wakasad Letjen (Purn) Kiki Syahnakri dan mantan Menko
Perekonomian Rizal Ramli.
Dalam paparannya Djadja mengungkapkan bahwa rencana kudeta itu jelas ada namun
pada akhirnya gagal di penghujung perjalanan. Dirinya juga beberapa kali
mengalami tekanan untuk tidak mematuhi perintah Panglima TNI saat itu, Jenderal
Wiranto. "Saya tegas-tegas menolak untuk ikut melakukan kudeta karena bertentangan
dengan Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. Belum lagi ada gerakan untuk memecah
perwira tingi TNI dengan membagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok reformis
dan kelompok yang status quo," katanya.
Lebih jauh ia mengemukakan bahwa telah terjadi upaya untuk menghancurkan TNI
secara kasat mata serta keterlibatan pihak asing dalam proses reformasi dan
demokratisasi yang ingin menggeser Pancasila. "Beruntung TNI berhasil mengatasi perpecahan internalnya walau dihujat
dimana-mana. Hal itu lebih baik ketimbang TNI berkhianat terhadap rakyat dan
negara," tegas Djaja.
Buku "Jejak Kudeta" merupakan rangkuman catatan harian Djadja sejak
permata kali bertugas di tentara hingga akhir pengabdiannya sebagai Inspektur
jenderal TNI. Djadja sempat bolak balik mengganti judul buku selama 20 kali
sebelum sampai pada yang terakhir.
Menurut Djadja, yang paling berkesan dan mencekam dalam karir militernya adalah
ketika menjabat sebagai Pangdam Brawijaya, Pangdam Jaya, dan Pangkostrad. "Di masa itulah jiwa kepemimpinan militer saya diuji betul, termasuk
kesetiaan terhadap Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan mempertahankan ideologi
Pancasila. Jadi buku ini sebagai pembelajaran bagi siapa saja untuk tetap
mempertahankan NKRI," katanya.
Sementara itu, mantan Wakasad Letjen (Purn) Kiki Syahnakri mengatakan ada dua
hal penting dari peluncuran buku biografi tersebut, yaitu adanya suatu
keberanian yang patut dihargai untuk menulis buku yang cukup berat seperti ini,
karena memperkaya perspektif sejarah dari peristiwa tersebut. "Namun demikian, perlu juga kesiapan diri menerima serangan dari pihak
lain, mengingat peristiwa politik memiliki beragam dimensi yang melingkupinya.
Jadi kalau tidak cukup mengulasnya dari berbagai perspektif maka akan
mengundang beragam kritik," kata Kiki Syahnakri.
Sumber : Republika
No comments:
Post a Comment