Menurut Najib, perlu upaya negosiasi untuk transfer teknologi alutsista secara serius dengan Inggris. Kata Najib, bingkai UU sudah ada yakni UU Industri Pertahanan. Lalu, industri pertahanan dalam negeri sudah siap. "Tinggal pejabat kita mengoptimalkan negosiasi dengan negara partner. Nah, apa yang dilakukan presiden adalah payung hukumnya. Yang lebih penting adalah praktik lapangannya," ujar Najib Kamis (8/11).
Rudal Starstreak akan memperkuat satuan arhanud. |
Kata Najib, untuk mencapai hal itu, ada dua tantangan yang harus dihadapi. Pertama, bagi Kementerian Pertahanan, termasuk juga TNI, memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi dalam menggunakan alutsista produksi dalam negeri. Juga perlu mengalokasikan anggaran sebesar-besarnya kepada industri pertahanan dalam negeri.
Kedua, kemampuan pemerintah untuk melakukan negosiasi dengan pihak asing. Karena, pihak asing pasti tidak akan memberi banyak soal transfer teknologi.
"Sementara kita ingin sebanyak-banyak dilakukan transfer teknologi. Nah, kalau kita kurang pintar dan kurang gigih, ya kita hanya dikasih porsi sedikit saja. Tetapi kalau kita pintar, kita gigih, maka kita akan mendapatkan banyak. Jadi saya kira payung hukum, tugas presiden itu adalah kita pandang adalah satu sinergitas. Cuma yang lebih penting adalah nanti pada praktik lapangannya," ujarnya.
Najib menegaskan, jangan sampai broker diberikan ruang terlalu besar dalam implementasi di lapangan terkait pengadaan alutsista dari Inggris atau dari negara lain. Karena bisa jadi mereka bermain dan berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan mengabaikan kedaulatan bangsa. "Karena itu Komisi I mendorong agar kerja sama itu dilakukan government to government sehingga ruang para pengusaha ini dipersempit dan mereka akan mengikuti irama kebijakan nasional kita untuk menghidupkan industri pertahanan," kata Najib.
Terkait pengalaman sebelumnya, atas kebijakan Inggris yang pernah melakukan embargo senjata ke RI, Najib mengatakan hal itu tidak perlu dikhawatirkan kembali, seiring dengan terus berkembangnya kemampuan industri pertahanan dalam negeri saat ini. Sehingga dalam kerja sama pertahanan dengan Inggris, RI tidak perlu lagi minta jaminan soal tidak ada embargo senjata. "Menurut saya, meminta jaminan itu justru merendahkan diri kita sendiri. Itu termasuk rasa tidak percaya diri sendiri," tegasnya.
Justru, kata politisi PAN ini, yang kita harus lakukan negosiasi mengenai komponen-komponen apa yang substansial. Jadi, kalau suatu saat misalnya diembargo, kita masih survive karena bisa produksi sendiri. "Sehingga negara lain akan sia-sia saja kalau mau embargo kita," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden SBY dan PM Inggris David Cameron menandatangani nota kesepahaman peningkatan kerja sama bidang pertahanan. Kerja sama itu berupa bantuan peningkatan kapasitas bagi TNI di Pusat Studi Perdamaian dan Keamanan dalam bentuk peralatan audio visual untuk pelatihan bahasa, juga menyediakan kursus-kursus dan seminar bagi anggota pasukan perdamaian. Selain itu, kontrak penjualan alat-alat pertahanan kepada AU, AD, dan AL Indonesia. Peralatan itu di antaranya peluru kendali starstreak, senapan sniper, kapal perang kecil multiguna (Multi Roles Light Frigate), dan suku cadang untuk pesawat tempur Hawk 109/209.
Sumber : Jurnal Parlemen
No comments:
Post a Comment